Jakarta, penaxpose.com | Menyerap aspirasi masyarakat Jakarta, khususnya warga Betawi di tingkat akar rumput, tidak selalu harus dilakukan melalui kunjungan atau menghadiri kerumunan. Kegelisahan masyarakat dapat dirasakan dengan hati nurani. Menjadi insan kamil—manusia sempurna—berarti mampu memahami kebutuhan warga tanpa perlu penelitian mendalam atau data statistik yang rumit. Pertanyaannya, apa yang menjadi kegelisahan masyarakat saat ini? Jawabannya sebenarnya sudah jelas.
Dalam membangun sebuah kota, tidak cukup hanya fokus pada infrastruktur atau kebersihan. Alexander Agung, misalnya, ketika membangun Alexandria, tidak hanya memprioritaskan fisik kota. Ia mendirikan perpustakaan besar dan menjadikan Alexandria sebagai pusat budaya yang mengalahkan Yunani. Sejarah ini mengajarkan bahwa pembangunan kota juga harus memperhatikan kebudayaan dan pendidikan.
Falsafah Betawi, "Sekolah, Sholat, Silat" atau 3S, sejalan dengan pandangan ini. Sekolah ditempatkan sebagai prioritas utama, karena tanpa ilmu, seseorang tidak bisa melangkah ke ibadah atau keterampilan. Begitu juga dalam membangun Jakarta sebagai kota global, tantangan semakin berat, terutama bagi masyarakat yang berada di garis bawah—mereka yang sering dicitrakan negatif.
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam program Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), sekitar 2,5 juta penduduk Jakarta hidup dalam kemiskinan. Sebagian besar dari mereka adalah warga Betawi, yang ironisnya merupakan penduduk asli Jakarta. Sementara itu, berdasarkan laporan The Global Cities Report 2023, Jakarta menempati peringkat ke-74 dari 156 kota di dunia, posisi terendah di Asia Tenggara. Ini menyoroti betapa beratnya tantangan yang dihadapi, terutama bagi warga lokal yang masih terpinggirkan.
Sebagai kota global, Jakarta dihadapkan pada peluang dan tantangan besar, mulai dari infrastruktur modern hingga keragaman budaya yang semakin kompleks. Namun, dengan jumlah warga miskin yang signifikan, pertanyaan yang muncul adalah: apakah mereka mampu bersaing dalam lingkungan global yang semakin kompetitif?
Beberapa kebijakan sudah menunjukkan keberpihakan pada masyarakat lokal, seperti Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi dan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta. Kini, tantangannya adalah implementasi kebijakan tersebut untuk memastikan warga Betawi menerima dampak positif dari perubahan yang terjadi.
Membangun Jakarta sebagai kota global tidak hanya tentang fisik atau ekonomi, tetapi juga membangun manusianya. Sebagaimana Alexander Agung membangun Alexandria dengan fokus pada pendidikan dan kebudayaan, Jakarta juga harus melakukan hal yang sama untuk menghadapi tantangan global.
Di tengah Pilkada DKJ, aspirasi warga Betawi yang membutuhkan perhatian serius sudah diobral secara cuma-cuma. Kini, pertanyaannya: apakah ada calon yang siap berkomitmen membangun Betawi secara utuh dan berkelanjutan? Siapkah mereka berkolaborasi dalam menjawab tantangan kota global? (Emy)
0 Comments
Posting Komentar